Radarnews9.com || Sidoarjo, Jawa Timur — Seorang wali murid di Kabupaten Sidoarjo berjuang mencari keadilan setelah anaknya, M. Risky Firmansyah, siswa kelas X SMAN 1 Taman, dikeluarkan secara sepihak oleh pihak sekolah. Keputusan mengejutkan ini muncul hanya sebulan setelah siswa tersebut resmi diterima melalui jalur afirmasi pada tahun ajaran 2025/2026, sementara orang tua telah menunaikan seluruh kewajiban administrasi.
Sebelum dikeluarkan, orang tua Firmansyah telah memenuhi sejumlah kewajiban finansial yang totalnya hampir mencapai Rp3 juta, di antaranya:
• Uang administrasi seragam dan perlengkapan sekolah sebesar Rp1.995.000
• Uang tahunan sebesar Rp265.000
• Sumbangan bulanan sebesar Rp300.000 untuk tiga bulan pertama
Namun, setelah Firmansyah mengikuti kegiatan belajar mengajar selama sebulan, pihak sekolah tiba-tiba mendatangi rumah orang tua siswa. Dalam kunjungan tersebut, sekolah menyampaikan bahwa mereka “tidak sanggup mendidik” Firmansyah dengan alasan IQ siswa dinilai rendah, serta menyarankan agar ia pindah ke sekolah lain

Tri, ayah Firmansyah, mengaku kecewa dan menilai keputusan sekolah sangat tidak adil serta merugikan.
“Kalau memang anak saya dianggap tidak memenuhi standar, seharusnya sejak awal jangan diterima. Kami sudah membayar semua kewajiban sekolah, termasuk biaya seragam dan sumbangan. Tiba-tiba setelah sebulan belajar, anak saya dikeluarkan begitu saja. Kami jelas tidak terima dan akan terus mencari keadilan,” tegasnya.
Kasus ini menarik perhatian publik dan LSM GEMPAR Sidoarjo. Ketua LSM GEMPAR, Agus Harianto, S.H., bersama tim media mendatangi kediaman orang tua Firmansyah untuk menelusuri kebenaran kasus tersebut.
Menurut Agus Harianto, tindakan sekolah mengeluarkan siswa tanpa dasar hukum yang jelas dapat dikategorikan sebagai pelanggaran serius terhadap hak anak untuk memperoleh pendidikan, sebagaimana dijamin dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945. Selain itu, hal ini juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang melarang segala bentuk tindakan yang menghambat anak dalam memperoleh pendidikan.
Orang tua Firmansyah mengaku telah mencoba menyelesaikan persoalan ini secara kekeluargaan, termasuk meminta pengembalian dana yang sudah dibayarkan. Namun, hingga kini pihak sekolah belum memberikan respons.
Agus Harianto menyebut pihaknya mencium adanya indikasi penyalahgunaan wewenang dan praktik tidak etis di lingkungan sekolah.
“Kami menduga ada permainan di balik pengeluaran siswa ini. Bisa jadi ada ‘titipan’ untuk mengisi kursi kosong setelah Firmansyah dikeluarkan. Jika benar, ini jelas mencoreng dunia pendidikan,” tegasnya.
